Mengapa jumlah agen properti di Indonesia berkisar ~25.000 dan tidak meningkat pesat meskipun potensi pasar besar?
- Tetamo admin
- Nov 3
- 2 min read
Sektor properti Indonesia memiliki prospek cerah: pertumbuhan populasi, urbanisasi, investasi infrastruktur, dan meningkatnya kelas menengah. Berdasarkan riset, ukuran pasar sektor properti Indonesia mencapai sekitar USD 95,4 miliar pada tahun 2024 dan diproyeksikan naik menjadi USD 151,7 miliar pada tahun 2033 dengan CAGR sekitar 5,29%.

Namun, meski terdapat dorongan positif, jumlah agen properti berlisensi atau aktif tampak masih relatif kecil dan pertumbuhannya lambat.
Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini antara lain:
a) Hambatan masuk yang tinggi dan regulasi yang tidak jelasMeskipun ada permintaan, banyak calon agen menghadapi ketidakjelasan aturan, biaya lisensi yang tinggi, dan jalur formal yang terbatas. Hanya sedikit agensi yang terdaftar secara resmi, dan direktori agen pun menunjukkan cakupan yang sempit. Akibatnya, pertumbuhan jumlah agen menjadi terhambat. Misalnya, data menunjukkan ribuan usaha broker kecil milik perseorangan — struktur pasar yang sangat terfragmentasi.
b) Konsentrasi pasar dan margin tipisDi banyak wilayah Indonesia, transaksi properti masih kompleks, dengan siklus penjualan yang panjang, permintaan yang fluktuatif, dan ketergantungan besar pada relasi pribadi dibandingkan model mass-agent. Dalam kondisi seperti ini, banyak agen kesulitan memperoleh pendapatan stabil, sehingga pendatang baru ragu untuk terjun.
c) Kurangnya keterampilan, pelatihan, dan profesionalismeTanpa program pelatihan yang kuat atau jenjang karier yang jelas, banyak individu yang mencoba menjadi agen namun menyerah ketika hasil tidak sesuai harapan. Tidak adanya sertifikasi yang solid, pengakuan industri, atau kode etik yang diadopsi secara luas membuat profesi ini tidak dianggap sebagai karier jangka panjang.
d) Gangguan dari teknologi & platform digitalPortal online, pemasaran digital, dan platform self-service kini memungkinkan penjual dan pembeli properti untuk bertransaksi tanpa perantara tradisional. Dinamika ini menekan pertumbuhan jumlah agen atau mengubah peran agen — bukan sekadar menambah jumlahnya.
e) Variasi regional dan geografisPertumbuhan agen lebih mudah di kota besar dan area investasi populer, namun jauh lebih sulit di daerah terpencil atau pasar yang kurang likuid. Ketimpangan permintaan ini menyebabkan beberapa wilayah kelebihan agen, sementara wilayah lain justru kekurangan peluang.
f) Persepsi pasar dan ekspektasi pendapatanJika banyak agen bekerja penuh waktu namun pendapatan mereka kecil atau tidak stabil, profesi ini menjadi kurang menarik bagi masyarakat luas. Tanpa kisah sukses yang terlihat, karier agen pun cenderung stagnan.
g) Tantangan ekonomi dan pasar secara umumWalau investasi infrastruktur dan urbanisasi terus berjalan, pertumbuhan sektor properti Indonesia masih tergolong moderat. Misalnya, sektor ini tumbuh 2,21% (yoy) pada Q3 2023 — masih di bawah pertumbuhan PDB nasional. Ketika pertumbuhan pasar lambat, ekspansi jumlah agen pun terbatas.
Implikasi & hal yang perlu diperhatikanBagi agensi dan regulator: peningkatan profesionalisme, jalur sertifikasi yang lebih jelas, transparansi pendapatan, serta pemanfaatan kanal digital dapat membantu menarik lebih banyak agen dan meningkatkan produktivitas per agen, bukan hanya menambah jumlahnya.Bagi pendatang baru: bersikap realistis terhadap pendapatan, fokus pada pasar niche, bangun jaringan lokal yang kuat, serta berinvestasi pada pelatihan dan teknologi.
Bagi pasar secara keseluruhan: populasi agen yang lebih matang akan meningkatkan kepercayaan, kualitas transaksi, dan reputasi sektor properti di Indonesia.
Kesimpulan:Jumlah agen properti yang tampak stagnan mencerminkan bahwa profesi ini masih penuh tantangan, terfragmentasi, kurang profesional, dan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan pasar yang lambat. Peluangnya nyata, tetapi jalannya tidak mudah — dan hal inilah yang menahan laju pertumbuhan jumlah agen di Indonesia.
